Senin, 12 April 2010

Sebuah Penyesalan

Selalu saja terjadi kejadian yang sama, setiap kali Q menemaninya ke Surabaya. Selalu saja Q harus mengalah, setiap kali bendera perang mulai dikibarkan. Selalu saja Q harus memulai segalanya dari awal, setiap kali kicau burung kakak tua mulai terdengar. Burung ini sangatlah langkah, karena mereka tidak mempunyai bulu dengan warna-warni yang indah dan menawan, tapi malah yang nampak adalah bulu-bulu ketiak. "kakak tua berbulu ketiak". Asing memang terdengarnya, tapi ini sungguh nyata. Kehadiran mereka disini, membuat kehidupan serasa terhimpit, dunia serasa sempit. Atas motif apa mereka melakukan semua ini, Q juga nggak tau pasti. Yang jelas, hal ini terkadang menguras pikiranku. Pikiran yang seharusnya lebih Q fokuskan untuk studi dan tugas pengabdianku menjadi terhambat karena kakak tua yang selalu saja membuat masalah kecil semakin menjadi-jadi. Q jadi heran, kok nggak ada bosen2nya yach, mereka berkicau. Nggak pagi, siang, sore bahkan di waktu2 istirahat tetep aja mereka berkicau. Padahal, Q sudah berusaha tuk tidak menghiraukan kehadirannya. Q jadi berpikir, mungkinkah ini yang disebut dengan iri hati? Ataukah Q yang tidak sengaja menghembuskan angin kencang hingga mereka terusik? Yang jelas sampai saat ini, tak seorangpun yang datang pada Q tuk sekedar membisikkan sebab mereka melakukan semua ini.
Q sadar, Q bukan siapa2 disini tapi aku tahu mana yang seharusnya aku kerjakan dan mana yang seharusnya Q tinggalkan. Mereka memang punya kedudukan tapi mereka nggak pernah berpikir bahwa setiap orang punya perasaan. Inilah yang aku rasakan selama mulai menginjak pengabdian ketiga.

Namun, semua itu telah aku kubur dalam2 dan telah ku maafkan semua perlakuannya padaku. Q jadikan semua ini sebagai guruku yang harus Q hormati. Q sadar apa yang aku lakukan salah, mata hatiku terbuka setelah ku terima telpon dari ibuku semalam, beliau punya perasaan nggak enak tentang Q. Beliaupun bertanya ada apa dengan diriku. Tapi aku hanya diam, mencoba mengalihkan pembicaraan karena Q g' ingin beliau kepikiran. Hanya saja di detik-detik terakhir pembicaraanku dengannya beliau berpesan, "jika masalahnya sama seperti dulu, sudahlah jangan dihiraukan. Hidup adalah bagaimana kita mengatasi diri, jangan sampai terpancing emosi. Apalagi sampai berlarut2 mikirin masalah ini. Jaga kesehatan, belajar yang sungguh2 ya!". Q hanya terdiam, mengiyakan dan berusaha memahami semua nasehat beliau. Hingga akhirnya Ibu menutup telpon dengan mengucapkan salam.
Ingin rasanya Q menangis karena sikapku selama ini, ternyata lebih didasari dengan emosi daripada nurani. Walaupun sampai detik ini, Q belum melakukan apa2 ato bahkan Q akan sengaja membiarkannya berlalu begitu saja, tapi Q sudah mulai tenang. Q temukan satu titik terang dalam hatiku, dan aku selalu berharap semoga titik terang ini tidak akan pernah padam karena Q bertekad akan menjadikannya sebagai langkah awal tuk mengibarkan bendera perdamaian. Jika dipikirkan, ini memanglah sulit tapi Q yakin, Q bisa melakukannya.